Selasa, 29 April 2008

Pengertian Peranan Tugas dan Tanggungjawab Guru Agama

HS. Hasibuan Botung, 2008

1. Pengertian Pendidikan Agama Islam

Dalam literatur pendidikan Islam, setidaknya ada tiga istilah, yang sering digunakan untuk menyebut pendidikan. Istilah-istilah ini juga dapat dikaji untuk lebih dekat dan tepat memahami makna pendidikan yang sebenarnya. Ketiga istilah tersebut adalah tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib.

Menurut Al-Isfahani yang dikutip oleh Hasibuan, istilah tarbiyah berakar dari tiga kata, yaitu pertama dari kata rabba-yarbu (ربا يربو) yang berarti “bertambah dan tumbuh”; kedua, kata rabiya-yarba (ربي يربى) yang berarti “tumbuh dan berkembang”; dan ketiga, kata rabba-yarubbu (رب يرب) yang berarti “memperbaiki, menguasai dan memimpin, menjaga, dan memelihara.[1]

Menurut Najib Khalid al-‘Amir, seperti yang dikutip Abd. Rahman Abdullah, bahwa Tarbiyah berasal dari tiga pengertian kata yaitu:

Rabbaba-Rabba-Yurabbi” (ربب-ربى-يربي) yang artinya “memperbaiki sesuatu dan meluruskan”. Kata Rabba (ربى) berasal dari kata “Ghatha-Yughati” dan “Halla-Yuhalli” (غطى-يغطي dan حلى-يحلي) yang artinya “menutupi”. Dari fi’il “Rabba-Yurabbi” (ربي - يربي) kata ‘Ar-Rabbu – Tarbiyatan” (الرب dan تربية) ditujukan kepada Allah SWT yang artinya Tuhan segala sesuatu, raja dan pemiliknya. Ar-Rabb “Tuhan yang diaati”. “Tuhan yang memperbaiki”. Juga ditegaskan ar-Rabbu merupakan mashdar yang bermakna tarbiyah yaitu menyampaikan sesuatu sampai titik kesempurnaan sedikit demi sedikit”.[2]

24

Dari kedua pendapat di atas, dapat dipahami bahwa tarbiyah memiliki makna yang luas dan bermacam-macam dalam penggunaannya sehingga kata tersebut dapat diartikan menjadi makna “pendidikan, pemeliharaan, pengembangan, pembinaan, penciptaan, perbaikan, dan semuanya menuju kepada kesempurnaan sesuatu secara bertahap”.

Salah satu di antara tokoh pendidikan Islam yang menggunakan istilah tarbiyah untuk penamaan pendidikan adalah Abdurrahman al-Nahlawi. Dari beberapa pengertian yang dikandung dalam makna tarbiyah, ia mengemukakan beberapa kesimpulan, yaitu:

“pertama, pendidikan merupakan kegiatan yang betul-betul memiliki tujuan, sasaran, dan target; kedua, pendidik yang sejati dan mutlak adalah Allah SWT; ketiga, pendidikan menuntut terwujudnya program berjenjang melalui peningkatan kegiatan pendidikan dan pengajaran selaras dengan langkah-langkah yang sistematis yang membawa anak dari suatu perkembangan ke perkembangan lainnya; dan keempat, peran seorang pendidik harus sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakannya. Artinya, pendidik harus mampu mengikuti syariat agama Allah”.[3]

Adapun al-Ta’lim (التعليم) secara lughawi berasal dari kata kerja “’allama” (علّم) yang berarti “mengajar”. Jadi istilah ini dapat diartikan sebagai “pengajaran”, seperti dalam bahasa Arab sering digunakan istilah tarbiyah wa ta’lim (التربية والتعليم) berarti “Pendidikan dan Pengajaran”.[4]

Menurut Zakiah Daradjat, kata “allama” memberi pengertian sekedar memberi tahu atau memberi pengetahuan, tidak mengandung arti pembinaan kepribadian, karena sedikit sekali kemungkinan ke arah pembentukan kepribadian yang disebabkan pemberian pengetahuan.[5] Pengertian ini juga dapat ditemukan dalam beberapa ayat al-Qur’an, di antaranya seperti pada surat al-Baqarah/2: 31 dan surat al-Naml/27: 16.

وَعَلَّمَ آدَمَ الأَسْمَاء كُلَّهَا ) البقرة: ٣١(

Artinya: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,…”(QS. Al-Baqarah: 31).

وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُودَ وَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ عُلِّمْنَا مَنطِقَ الطَّيْرِ ) النمل : ١٦ (

Artinya: “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: "Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung…”. (QS An Naml: 16)

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Ramayulis:

“makna ta’lim menekankan pada transmisi ilmu dan lebih mencakup domain kognitif dari pada domain lainnya. Pendapat ini berangkat dari term ‘allam dalam Q.S. al-Baqarah ayat 30 di atas dikaitkan dengan kata ‘aradha yang berimplikasi bahwa proses pengajaran Adam As diakhiri dengan kegiatan evaluasi. Evaluasi yang dimaksud lebih mengarah pada evaluasi kognitif, sebab Adam hanya diserukan menyebutkan nama-nama benda yang diajarkan”. [6]

Berbeda dengan pendapat di atas, Fattah Jalal, seperti yang dikutip oleh Ahmad Tafsir, justru berpendapat sebaliknya. Menurutnya, surat al-Baqarah ayat 30 tersebut mengandung makna yang lebih luas jangkauannya dari pada tarbiyah. Ia juga mengutip surat al-Baqarah ayat 151:

كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِّنكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُواْ تَعْلَمُونَ) البقرة: ١٥١ (

Artinya: “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui (QS Al-Baqarah: 151).

Berdasarkan ayat tersebut, Ahmad tafsir mengutip pendapat Fattah Jalal yaitu:

“kata ta’lim lebih universal dari proses tarbiyah. Sebab, ketika mengajarkan al-Qur’an kepada kaum muslimin, Rasulullah tidak sekedar membuat mereka membaca, tetapi membaca dengan perenungan yang berisi pemahaman, tanggung jawab, dan amanah. Dari membaca semacam ini, Rasul membawa mereka kepada penyucian diri (tazkiyah) dan menjadikan diri itu pada posisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah. Adapun al-hikmah tidak dapat dipelajari secara parsial, tetapi harus menyeluruh dan terintegrasi. Al-Hikmah itu sendiri berasal dari kata al-ihkam yang artinya kesungguhan di dalam ilmu, amal, atau di dalam kedua-duanya”.[7]

Dengan pemahaman seperti ini, maka ta’lim tidak berhenti pada pengetahuan yang lahiriyah an sich, juga tidak hanya sampai pada pengetahuan taklid. Tetapi lebih dari itu, ta’lim juga mencakup pengetahuan teoritis, mengulang kaji secara lisan dan menyuruh melaksanakan pengetahuan itu. Dengan begitu ia menyimpulkan bahwa berdasarkan al-Qur’an istilah ta’lim lebih luas dari pada tarbiyah.[8]

Hery Noer Aly juga berpendapat bahwa makna istilah ta’lim tidak hanya sekedar pengajaran dalam aspek kognisi saja, tetapi ta’lim setidaknya memiliki tiga makna dalam konsep pendidikan Islam.

“Pertama, ta’lim adalah proses pembelajaran secara terus-menerus sejak manusia lahir melalui pengembangan fungsi-fungsi pendengaran, penglihatan, dan hati sampai akhir usia; kedua, proses ta’lim tidak saja berhenti pada pencapaian pengetahuan dalam wilayah (domain) kognisi semata, tetapi juga (yang ketiga) menjangkau psikomotor dan afeksi”.[9]

Sedangkan kata kata ta’dib secara bahasa merupakan bentuk mashdar dari kata “addaba” (أدب) yang berarti memberi adab dan mendidik. Dalam kamus bahasa Arab, “al-Mu’jam al-Washith”, sebagaimana yang dikutip oleh Abd. Rahman Abdullah, istilah ta’dib yang biasanya diartikan sebagai “pelatihan” dan “pembiasaan” mempunyai kata makna dasar sebagai berikut:

1. Ta’dib berasal dari kata dasar “aduba – ya’dubu” yang berarti melatih, mendisiplinkan diri untuk berperilaku yang baik dan sopan santun.

2. Berasal dari kata dasar “adaba – ya’dibu” yang berarti mengadakan pesta atau perjamuan yang berarti berbuat dan berperilaku sopan.

3. Kata “addaba” sebagai bentuk kata kerja “ta’dib” mengandung pengertian mendidik, melatih, memperbaiki, mendisiplin, dan memberi tindakan.[10]

Menarik untuk diketahui, bahwa Syed Muhammad Nuqaib al-Attas berpendapat bahwa istilah ta’dib merupakan istilah yang dianggap tepat untuk menunjuk arti pendidikan Islam. Menurutnya istilah ini sangat penting dalam rangka memberi arti pendidikan Islam.

Dari kata addaba—sebagai kata kerja dari ta’dib—ini diturunkan juga kata adabun. Adab adalah disiplin tubuh, jiwa, dan ruh. Al-Attas juga mengatakan bahwa adabun ialah disiplin yang menegaskan pengenalan dan pengakuan tempat yang tepat hubungannya dengan kemampuan dan potensi jasmaniah, intelektual dan ruhaniah; pengenalan dan pengakuan akan kenyataan bahwa ilmu dan wujud ditata secara hierarkis sesuai dengan tingkat dan derajatnya. Dalam adab akan tercermin keadilan dan kearifan (hikmah). Adab juga meliputi kehidupan material dan spiritual. Kemudian penekanan adab mencakup amal dan ilmu sehingga mengkombinasikan ilmu dan amal serta adab secara harmonis, ketiganya sebagai pendidikan. Dari pengertian adab seperti ini, al-Attas kemudian mendefenisikan pendidikan sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia, tentang tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu di dalam tatanan wujud sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud tersebut. Al-Attas juga memperkuat pendapatnya ini dengan mengutip hadis Nabi Muhammad SAW: أدبنى ربى فاحسن تأديبي artinya “Tuhanku telah mendidikku, dan dengan demikian menjadikan pendidikanku yang terbaik [11]

Tampaknya defenisi yang diberikan oleh al-Attas sarat dengan muatan filsafat. Ia memahami pendidikan sebagai upaya untuk membentuk manusia yang kenal dan mengakui akan eksistensi Tuhan dalam hidupnya sehingga ia menjadi seorang hamba yang taat dengan segenap potensi jasmaniah, akal, dan rohaniahnya. Meskipun ia menyatakan bahwa makna ta’dib lebih tepat dalam menamai pendidikan, tetapi dari defenisi yang ia kemukakan tersebut, H.M Arifin berpendapat bahwa defenisi itu selain panjang, abstrak, sulit tangkap, juga sulit dioperasionalkan.[12]

Meskipun terdapat berbagai pengertian dan perbedaan pendapat tentang makna ketiga istilah di atas, yang jelasnya ketiga istilah tersebut—dengan berbagai makna yang terkandung di dalamnya—tercakup dalam konsep pendidikan Islam. Adanya istilah tarbiyah menunjukkan bahwa di dalam pendidikan Islam terjadi proses pembinaan, pemeliharaan, dan pengembangan berbagai potensi yang dimiliki oleh manusia secara bertahap sehingga diharapkan ia mampu menjadi insan kamil dan menemukan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Istilah ta’lim mengindikasikan bahwa pendidikan Islam akan mendidik manusia untuk memiliki ilmu sehingga dengan ilmu itu hidupnya menjadi terarah dan mulia serta menuntunnya untuk beramal sesuai dengan ilmu tersebut. Sedangkan ta’dib, juga membuktikan bahwa melalui pendidikan Islam, manusia akan diarahkan untuk memiliki adab yang mulia dan pada akhirnya menjadi pribadi yang mulia baik lahir maupun batin serta mampu mewujudkan tatanan masyarakat yang berperadaban.

Selain dari ketiga istilah di atas, juga dikenal istilah irsyad, tadris, tazkiyah, dan tilawah. Keempat istilah ini diterangkan secara ringkas oleh Muhaimin sebagai berikut:

1. Istilah irsyad biasanya digunakan dalam Thariqat (Tasawuf). Imam Syafi’i pernah meminta nasehat kepada gurunya, Imam Waki’ sebagai berikut: “Syakautu ilâ Waki’in sûa hifzi, wa arsyadani ilâ tarki al-maâhi, fa akhbarani bianna al-‘ilma nurun, wa nurullahi la yubda lu al-âshi”. Dari nasehat ini, ada dua hal yang perlu digarisbawahi, pertama, untuk memperkuat ingatan diperlukan upaya meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat; dan kedua, ilmu itu adalah cahaya yang tidak akan tampak dan terlahirkan dari orang yang suka berbuat maksiat. Dengan demikian irsyâd merupakan aktivitas pendidikan yang berusaha menularkan penghayatan (transinternalisasi) akhlak dan kepribadian kepada peserta didik, baik yang berupa etos kerjanya, etos belajarnya, maupun dedikasinya yang serba lillahi ta’ala.

2. Istilah tadrîs berasal dari akar kata “darasa-yadrusu-darsan wa durusan wa dirasatan”, yang berarti: terhapus, hilang bekasnya, menghapus, menjadikan usang, melatih, dan mempelajari. Dari pengertian ini, maka aktivitas pendidikan merupakan upaya pencerdasan peserta didik, menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan mereka sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.

3. Istilah tazkiyah berasal dari kata zaka’ yang berarti tumbuh dan berkembang, atau dari kata zakah yang berarti kesucian, kebersihan. Dari sini dapat dipahami bahwa dalam pendidikan terkandung proses penumbuhan atau pengembangan diri peserta didik atau satuan sosial sehingga ia menjadi suci dan bersih sesuai dengan fitrahnya.

4. Istilah tilâwah berarti mengikuti, membaca atau meninggalkan.dalam konteks ini pendidikan merupakan upaya meninggalkan atau mewariskan nilai-nilai Ilahi dan insani agar diikuti dan dilestarikan oleh peserta didik atau generasi berikutnya.[13]

Istilah-istilah di atas memiliki makna yang sepadan dengan pendidikan. Adanya penekanan makna yang berbeda dari masing-masing istilah tersebut menunjukkan bahwa pendidikan dalam perspektif Islam tersebut mengandung makna yang luas dan mendalam. Sadar akan dalam dan luasnya makna pendidikan Islam, maka para tokoh pendidikan Islam memberikan defenisi yang beragam untuk menggambarkan keluasan makna tersebut.

Hasan Langgulung, misalnya, merumuskan bahwa pendidikan Islam sebagai “proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.”[14]

Dari pengertian ini, tampak jelas bahwa pendidikan Islam merupakan proses pemindahan nilai-nilai budaya dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Makna nilai di sini tentunya bersumber dari al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad. Nilai-nilai Islam tersebut diupayakan pendidikan Islam untuk dipindahkan dari generasi ke generasi sehingga ajaran Islam tersebut diterapkan secara berkesinambungan di tengah-tengah masyarakat.

Ahmad Marimba menyebutkan bahwa pendidikan Islam adalah “bimbingan jasmani dan rohani, berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam”.[15] Dari pengertian ini, Marimba juga memberikan penekanan terhadap ajaran Islam, baik berupa hukum maupun ukuran yang diatur dalam agama Islam. Pengertian semacam ini juga dirumuskan lebih teknis lagi oleh Endang Syaifuddin Anshori. Menurutnya, pendidikan Islam adalah;

“Proses bimbingan (pimpinan, tuntunan, usulan) oleh subjek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi dan lain sebagainya) dan raga objek didik dengan bahan-bahan materi tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam”.[16]

Sementara Muhammad Athiyah al-Abrasyi berpendapat bahwa pendidikan Islam merupakan “upaya mempersiapkan manusia agar hidup dengan sempurna dan bahagia mencintai tanah air, tegap jasmaniyah, sempurna akhlaknya, teratur pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam pekerjaannya, manis tutur katanya baik dengan lisan atau tulisan.”[17] Sedangkan Zakiah Daradjat memberikan pengertian pendidikan secara umum dan ringkas, yaitu “pendidikan Islam adalah pembentukan kepribadian muslim”.[18]

Beberapa pengertian di atas menunjukkan bahwa pendidikan dalam Islam adalah bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam itu sendiri. Hal-hal yang menjadi ajaran Islam akan diimplementasikan melalui pendidikan. Misalnya, jika dalam ajaran Islam disebutkan bahwa manusia dimuliakan dan diberikan petunjuk agar menemukan kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat, maka “pendidikan” berperan sebagai wadah untuk menginternalisasikan dan mengembangkan ajaran Islam tersebut dalam kehidupan manusia baik secara individu maupun kelompok masyarakat yang lebih luas. Kemudian karena Islam mengkaji dan memandang manusia secara utuh, maka pendidikan Islam pun berupaya untuk mengembangkan potensi manusia secara utuh (baik jasmaniyah maupun rohaniyahnya), sehingga melahirkan muslim kaffah, yaitu seorang muslim yang mengamalkan ajaran Islam secara utuh sesuai dengan kadar kemampuannya.

Dengan demikian, jelaslah bahwa pendidikan Islam merupakan proses yang ideal untuk mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki oleh manusia yang sarat akan nilai (full values) sesuai dengan tuntunan/ajaran Islam sehingga ia mampu menjalani hidupnya sesuai dengan hakekat kehidupan yang sesungguhnya sebagai hamba Allah yang senantiasa tunduk dan patuh kepada-Nya (muslim) dan pada akhirnya memperoleh kehidupan yang selamat di dunia dan akhirat. Oleh karena itu pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam merealisasikan ajaran Islam.

2. Peranan Guru Pendidikan Agama Islam

Berbicara masalah peran dan tanggung jawab guru dalam pendidikan Islam tidak jauh berbeda dengan peran dan tanggungjawab guru secara umum, yang bisa berbeda hanya dari segi pengertiannya. Sedangkan dari segi pelaksanaannya tidak jauh berbeda, bahkan selalu beriringan atau sama. Tanggung jawab adalah tugas yang dilaksanakan sedangkan peranan adalah jalan untuk melaksanakan tugas.

Peran seorang guru dalam pendidikan adalah cakupan dari tanggung jawab guru. Pada umumnya peran guru merupakan bagian dari tanggung jawab yang harus dilaksanakannya terutama dalam lingkungan pendidikan formal. Beberapa orang ahli memandang bahwa tanggung jawab guru terbatas dalam melaksanakan kebijaksanaan pengajaran dalam kelas. Sedangkan yang lain mengatakan bahwa guru berperan utama dalam pembuatan keputusan mengenai isi dan metode pengajaran. Menurut Sujana:

“Yang dimaksud dengan peranan guru ialah keterlibatan aktif seseorang dalam suatu proses kerja, penampilan ia tampil sebagai suatu yang dimainkan atau tingkah laku yang diharapkan dari seseorang pada satu waktu tertentu. Peran guru tersebut bisa dalam lingkungan sekolah dan juga rumah tangga. Dalam rumah tangga yang berperan sebagai guru adalah orang tua sedangkan di sekolah adalah guru itu sendiri. Dalam lingkungan sekolah guru berperan sebagai : “Pemimpin belajar, fasilitator belajar, moderator belajar, motivator belajar dan evaluator belajar”.[19]

Zahara Idris dan Lisma Jamal mengutip pendapat Ki Hajar Dewantara bahwa peran guru adalah: “Ing ngarso Sungtulodo, artinya jika didepan menjadi contoh; Ing, madio mangunkarso, artinya jiwa ditengah membangkitkan hasrat untuk belajar dan tut wuri handayani, yaitu jiwa ada di belakang memberi dorongan untuk belajar”.[20]

Secara terperinci Oliver mengemukakan sepuluh peran guru dalam pendidikan, yaitu :

1. Sebagai pencemarah

2. Sebagai sumber

3. Sebagai fasilisator

4. Sebagai konselor

5. Sebagai pemimpin kelompok

6. Sebagai tutor

7. Sebagai manejer

8. Sebagai pembina laboratorium

9. Sebagai penyusun program

10. Sebagai manipulator[21]

Menurut Djamarah peran guru dalam proses pembelajaran diantaranya adalah sebagai: 1) korektor, 2) inspirator, 3) informatory, 4) organisator, 4) motivator, 5) inistator, 6) fasilitator, 7) pembimbing, 8) demonstrator, 9) pengelola kelas, 10) mediator, 11) supervisor, dan 12) evaluator”.[22] Sedangkan menurut Sukmadinata sebagaimana yang dikutip oleh Nursyamsi menyebutkan peranan guru antara lain adalah :

1. Menjelaskan manfaat dan tujuan dari pendidikan

2. Memiliki bahan pelajaran yang betul-betul dibutuhkan peserta didik.

3. Memilih cara penyajian yang bervariasi

4. Memberikan sasaran dan kegiatan yang jelas

5. Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk sukses

6. Berikan kemudahan dan bantuan dalam belajar

7. Berikan pujian, ganjaran dan hadiah

8. Berikan penghargaan terhadap pribadi anak.[23]

Secara lebih lanjut, penulis akan menguraikan peran guru agama dalam kegiatan proses belajar mengajar di lingkungan sekolah yaitu:

a. Pemimpin belajar

Sebagai pemimpin belajar guru berperan dalam hal merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan dan mengontrol kegiatan siswa dalam belajar. Di sini guru sangat dituntut sekali selalu mengawasi semua kegiatan siswa dalam kegiatan belajar mengajar berlangsung.[24]

b. Moderator Belajar

Moderator belajar adalah sebagai pengatur arus kegiatan siswa. Sebagai moderator guru menampung persoalan yang diajukan siswa dan mengembalikannya kepada siswa lain untuk dijawab dan dipecahkan persoalannya.

Ada beberapa kualifikasi yang dituntut dari guru sebagai moderator yaitu :

1. Menguasai persoalan yang dibahas sehingga ia tahu jalan keluar pemecahannya apabila tidak bisa dijawab oleh siswa.

2. Terampil menangkap makna gagasan atau pendapat siswa sehingga bisa menilai apa yang terkandung di dalam pendapat tersebut.

3. Terampil mengkomunikasikan pertanyaan atau jawaban siswa dalam bahasa yang dapat dicerna oleh siswa.

4. Terampil mengkondisikan kelas agar siswa turut serta dalam menanggapi masalah yang diajukan.

5. Menguasai kelas sehingga tahu siswa mana yang harus didorong partisifasinya dalam belajar, siswa mana yang harus dibatasi pembicaraannya agar tidak mendominasi yang lain.

6. Terampil mencari kesimpulan dari pertanyaan.[25]

c. Fasilisator belajar

Sebagai fasilitator maka guru memfasilitasi siswa dengan memberikan kemudahan-kemudahan kepada siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya seperti menyediakan sumber dan alat-alat belajar berupa buku, media dan alat peraga lainnya serta menyediakan waktu belajar yang cukup kepada semua siswa.[26]

d. Motivator belajar semua pendapat yang muncul dari siswa.

Motivator belajar adalah guru sebagai pendorong siswa maupun melakukan kegiatan belajar. Guru harus menciptakan kondisi kelas yang merangsang siswa untuk melakukan kegiatan belajar baik secara kelompok, dari dalam diri siswa sendiri maupun dari luar diri siswa sendiri. Sadirman menegaskan bahwa: "Guru harus dapat merangsang dan memberikan dorongan untuk mendinamisasikan potensi siswa, menumbuhkan swadaya (aktivitas) dan daya cipta (Kreativitas), sehingga akan terjadi dinamika di dalam proses belajar mengajar.[27]

e. Evaluator belajar

Sebagai evaluator belajar guru bertindak sebagai penilai yang objektif dan komprehensif. Guru berkewajiban mengawasi, memantau proses belajar siswa dan hasil-hasil belajar yang dicapai. Guru juga berkewajiban melakukan upaya perbaikan proses belajar siswa, menunjukkan kelemahan siswa serta cara memperbaikinya baik secara pribadi, kelompok atau kelas.[28]

Berkaitan dengan kegiatan evaluasi yang harus dilakukan oleh guru Mulyasa mengatakan:

"Evaluasi atau penilaian merupakan aspek pembelajaran yang paling kompleks, karena melibatkan banyak latar belakang dan hubungan, serta variabel lain yang mempunyai arti apabila berhubungan dengan konteks yang hampir tidak mungkin dapat dipisahkan dengan setiap segi penilaian". Tidak ada pembelajaran tanpa penilaian, karena penilaian merupakan proses menetapkan kualitas hasil belajar, atau proses untuk menentukan tingkat pencapaian tujuan pembelajaran oleh peserta didik.[29]

Secara umum peran guru umum maupun guru agama menurut Hasibuan adalah sebagai berikut :

a. Sebagai komunikator, yaitu pendidik berfungsi mengajarkan ilmu dan keterampilan kepada pihak peserta didik.

b. Sebagai fasilisator, yaitu pendidik berfungsi sebagai pelancar proses belajar mengajar.

c. Sebagai motivator, yaitu pendidik berperan untuk menimbulkan minat dan semangat belajar peserta didik yang dilakukan secara terus menerus.

d. Sebagai administrator, yaitu pendidik itu berfungsi melaksanakan tugas-tugas yang bersifat administrator.

e. Sebagai konselor, yaitu pendidik berfungsi untuk membimbing peserta didik yang mengalami kesulitan, khususnya dalam belajar.[30]

Dari beberapa kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa peranan guru (termasuk guru agama) sangat menentukan berhasil atau tidaknya proses dan hasil pembelajaran, baik keberhasilan prestasi siswa secara keseluruhan maupun keberhasilan dari sisi guru itu sendiri. Disamping itu guru juga berperan dalam membina sikap, tingkah laku maupun kepribadian siswa sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan.

4. Tugas dan Tanggung jawab Guru

Kehadiran guru dalam proses belajar mengajar (PBM) masih tetap memegang peranan yang sangat penting. Peranan guru dalam PBM tidak bisa digantikan oleh mesin-mesin komputer yang moderen sekalipun. Masih terlalu banyak unsur manusiawi, sikap, sistem nilai, perasaan, motivasi, kebiasaan dan lain-lain. Seorang guru akan sukses melaksanakan tugas apabila ia profesional dalam bidang keguruannya. Di samping itu tugas seorang guru mulia dan mendapat derajat yang tinggi yang diberikan Allah SWT disebabkan mereka mengajarkan ilmu kepada orang lain.

Salah satu faktor yang paling menentukan dalam proses pembelajaran di kelas adalah guru. Tugas guru yang paling utama adalah mengajar dan mendidik. Sebagai pengajar guru merupakan peranan aktif (medium) antara pesta didik dengan ilmu pengetahuan.”[31] Secara umum dapat dikatakan bahwa tugas dan tanggungjawab yang harus dilaksanakan oleh guru adalah mengajak orang lain berbuat baik. Tugas tersebut identik dengan dakwah islamiyah yang bertujuan mengajak umat Islam untuk berbuat baik. Di dalam Al-Qur’an Ali Imran ayat 104 Allah berfirman:




Artinya: “Dan hendaklah di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”[32]

Profesi seorang guru juga dapat di katakan sebagai penolong orang lain, karena dia menyampaikan hal-hal yang baik sesuai dengan ajaran Islam agar orang lain dapat melakasanakan ajaran Islam. Dengan demikian akan tertolonglah orang lain dalam memahamin ajaran Islam. Musthafa Al-Maraghi mengatakan ”Orang yang diajak bicara dalam hal ini adalah umat yang mengajak kepada kebaikkan, yang mempunyai dua tugas, yaitu menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat mungkar”[33], Dalam tafsir Al-Azhar, diterangkan bahwa: “Suatu umat yang menyediakan dirinya untuk mengajak atau menyeru manusia berbuat kebaikan, menyuruh berbuat yang ma’ruf yaitu, yang patut, pantas, sopan, dan mencegah dari yang mungkar.[34]

Berdasarkan ayat dan tafsir di atas dapat dipahami bahwa dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, guru berkewajiban membantu perkembangan anak menuju kedewasaan yang sesuai dengan ajaran Islam, apalagi di dalam tujuan pendidikan terkandung unsur tujuan yang bersifat agamis, yaitu agar terbentuk manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Agama datang menuntun manusia dan memperkenalkan mana yang ma’ruf dan mana yang mungkar, oleh karena itu hendaklah guru agama menggerakkan siswa kepada yang ma’ruf dan menjauhi yang mungkar, supaya siswa bertambah tinggi nilainya baik disisi manusia maupun dihadapan Allah.

Bila diperhatikan secara lebih jauh, tugas dan tanggung jawab yang mestinya dilaksanakan oleh guru yang telah dijelaskan pada firman Allah di atas intinya adalah mengajak manusia melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Menurut M. Ja’far bahwa “Tugas dan tanggung jawab guru menurut agama Islam dapat diidentifikasikan sebagai tugas yang harus dilakukan oleh ulama, yaitu menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar”.[35] Hal ini menunjukkan adanya kesamaan tugas yang dilaksanaan guru agama dengan mubaligh/da’i, melaksanakan tugasnya melalui jalur pendidikan luar jalur sekolah (non formal). Rasulullah bersabda:

و عن عبد الله عمرو بن العاص رضى الله قال : بلغوا عنى ولو آية (رواه البخارى)

Artinya : “Dari Abdullah bin Amru bin Ash r.a dia berkata: Bersabda Nabi SAW, sampaikanlah dari ajaranku walaupun satu ayat. (HR. Bukhari)

Berdasarkan hadis di atas dapat dipahami bahwa tugas dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh orang yang mengetahui termasuk pendidik/guru adalah menyampaikan apa yang diketahuinya (ilmu) kepada orang yang tidak mengetahui. Guru merupakan pemimpin pendidikan dalam melaksanakan proses belajar mengajar, guru harus dapat mempertanggung jawabkan terhadap Allah atas kepeimipinannya sebagaimana terdapat dalam hadis yang berbunyi:

حديث عبد الله بن عمرى رضى الله عنهما عن النبي صلى الله وسلم قال : كلكم راع وكلكم مسؤل عن راعية (رواه البخارى)

Artinya : ”Hadis Abdullah bin Umar r.a bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda “Setiap kamu adalah pemimpin yang akan diminta pertangguna jawaban atas kepemimpinannya[36]

Berdasarkan hadis di atas dapat dipahami bahwa tanggung jawab dalam Islam bersifat peribadi dan sosial. Dalam pendidikan Formal (sekolah) guru adalah pemimpin di dalam kelas yang bertanggung jawab tidak hanya terhadap perbuatannya, tetapi juga terhadap perbuatan orang-orang yang berada di bawah perintah dan pengawasannya yaitu siswa.

Apabila dilihat dari rincian tugas dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh guru terutama guru pendidikan agama Islam, Al-Abrasyi yang mengutip pendapat Al-Ghazali mengemukakan bahwa:

1. Harus menaruh rasa kasih sayang terhadap murid dan memberlakukan mereka seperti perlakuan anak sendiri.

2. Tidak mengharapkan jasa ataupun ucapan terima kasih, tetapi bermaksud dengan mengajar itu mencari keridhoan Allah dan mendekatkan diri kepada tuhan.

3. Berikanlah nasehat kepada murid pada tiap kesemptatan, bahkan gunakanlah setiap kesempatan itu untuk menasehati dan menunjukinya

4. Mencegah murid dari sesuatu akhlak yang tidak baik dengan jalan sendirian jika mungkin dan dengan jalan terus terang, dengan jalan halus dan jangan mencela

5. Seorang guru harus menjalankan ilmunya dan jangan berlainan kata dengan perbuatannya.[37]

Ahmad Tafsir membagi tugas-tugas yang dilaksanakan oleh guru antara lain adalah:

1. Wajib mengemukakan pembawaan yang ada pada anak dengan berbagai cara seperti observasi, wawancara, melalui pergaulan, angket dan sebagainya.

2. Berusaha menolong anak didik mengembangkan pembawaan yang baik dan menekankan pembawaan yang buruk agar tidak berkembang.

3. Memperlihatkan kepada anak didik tugas orang dewasa dengan cara memperkenalkan kepada anak didik tugas orang dewasa dengan cara memperkenalkan berbagai keahlian, keterampilan, agar anak didik memilikinya dengan cepat.

4. Mengadakan evaluasi setiap waktu untuk mengetahui apakah perkembangan anak didik berjalan dengan baik.

5. Memberikan bimbingan dan penyuluhan tatkala anak didik melalui kesulitan dalam mengembangkan potensinya.[38]

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan di atas dapat diketahui tugas dan tanggung jawab guru bukan hanya mengajar atau menyampaikan kewajiban kepada anak didik, akan tetapi juga membimbing mereka secara keseluruhan sehingga terbentuk kepribadian muslim.

Sehubungan dengan hal itu Abidin juga menegaskan bahwa” Tugas dan tanggung jawab utama yang harus dilaksanakan oleh guru, terutama guru agama pendidikan agama Islam adalah membimbing dan mengajarkan seluruh perkembangan kepribadian anak didik pada ajaran Islam.[39] Menurut Al-Ghazali guru harus memiliki akhlak yang baik, karena anak-anak didiknya selalu melihat pendidiknya sebagai contoh yang harus diikutinya.[40]

Sedangkan Nur Uhbayati mengemukakan tugas dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh pendidik (guru) antara lain:

1. Membimbing anak didik kepada jalan yang sesuai dengan ajaran agama Islam

2. Menciptakan situasi pendidikan keagamaan yaitu suatu keadaan di mana tindakan-tindakan pendidikan dapat berlangsung dengan hasil yang memuaskan sesuai dengan tuntutan ajaran Islam.[41]

Pada sisi lain Samsul Nizar mengungkapkan tentang rangkaian tugas guru dalam mendidik: “rangkaian mengajar, memberikan dorongan, memuji, menghukum, memberikan contoh, membiasakan.[42] Imam Barnadib menambahkan dengan tugas guru terkait dengan perintah, larangan, menasehati, hadiah, pemberian kesempatan, dan menutup kesempatan.[43] Dengan demikian dapat dipahami bahwa tugas pendidik bukan hanya sekedar mengajar, di samping itu bertugas sebagai motivator dan fasilitator dalam proses belajar mengajar, sehingga seluruh potensi peserta didik dapat teraktualisasi secara baik dan dinamis.



[1]Zainal Hasibuan, Profil Rasulullah Sebagai Pendidik Ideal dan Kontribusinya Terhadap Pengembangan Pendidikan Islam Modern, (Padang: Tesis Pascasarjana IAIN IB Padang, 2007), h. 105

[2]Abd. Rahman Abdullah, Aktualisasi Pendidikan Islam;Rekonstruksi Pemikiran dalam Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001), h.. 23-24;

[3] Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h.. 21

[4] Abd. Rahman Abdullah, op. cit., h.. 27

[5] Zakiah Daradjat, op. cit., h.. 26

[6] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h.. 17

[7] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), cet. ke-4, h.. 30-31

[8] Alasan Jalal berpendapat bahwa makna tarbiyah lebih sempit dari pada ta’lim juga berdasarkan kepada pemahamannya terhadap al-Qur’an, yaitu surat al-Isra’ ayat 24 dan surat al-Syu’ara ayat 18. ayat 24 dari surat al-Baqarah menunjukkan bahwa pendidikan pada fase ini menjadi tanggung jawab keluarga, yaitu ibu dan ayah tatkala anak berada pada masa ketergantungan. Sementara pada surat as-Syu’ara ayat 18 tersebut menjelaskan tentang kebaikan Fir’aun yang merawat dan mendidik masa kecil Musa dan Musa telah dianggap sebagai anak selama beberapa tahun.

[9] Hery Noer Aly Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h.. 8

[10] Abd. Rahman Abdullah, op. cit., h.. 33-34

[11] Muhammad al-Nuqaib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1994), h.. 52-62

[12] H. M. Arifin, op. cit., h.. 29

[13] Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam; Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), h.. 11-13

[14] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1980), h.. 94

[15] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1980), h. 23

[16] Endang Saefuddin Anshari, Pokok-pokok Pikiran tentang Islam, (Jakarta: Usaha Interprises, 1976), h.. 85

[17] Muhammad Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah, (al-Arabi: Dar al-Fikr, tt.), h.. 100

[18] Zakiah Daradjat, op. cit., h.. 28

[19]Nana Sudjana, Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung : Sinar Baru, 1999), h. 32-35

[20]Zahara Idris dan Lisma Jamal, Pengantar Pendidikan I, (Jakarta : PT. Gramedia, cet ke 2, 1995), h. 36

[21]Piet A. Sahertion dan Idan Aleida Sahertian, Supervisi Pendidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 1990), h. 36-37.

[22]Syaiful Bahri Djamarah, Guru dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta : Rineka Cipta, 2000), h. 43-48.

[23]Nursyamsi, Psikologi Pendidikan (Padang : Baitul Hikmah Press. 2003), h. 121-122

[24]E. Eriadi, Peranan Guru dalam Pendidikan, (Padang: Makalah Fak. Tarbiyah IAIN “IB” Padang, 2002), h. 4

[25]HS. Hasibuan, Manejemen Guru dalam Pengelolaan Belajar Mengajar, (Padang: Makalah Program Pascasarjana UNP), h. 5

[26]E. Eriadi, op. cit.,h. 5

[27]Sadirman Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h. 142-143

[28] E. Eriadi, op. cit.,h. 5

[29]E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, (Bandung: PT. Raja Rosda Karya, 2005), h. 61

[30]HS. Hasibuan, op. cit., h. 7

[31]Muhaimin dkk, Strategi Belajar Mengajar (Penerapan dalam Pendidikan Agama), Surabaya : CV. Citra Media, 1996), h. 54

[32] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Toha Putra, 1989), h. 93

[33] Ahmad Al-Musthafa Al-Maraghi, Terjemahan Tafsir Al-Maraghi, Juz IV, (Semarang: Toha Putra, 1986), h. 31

[34] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz IV, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1983), h. 31

[35] M. Ja’far, Beberapa Aspek Pendidikan Islam, (Surabaya:Al-Ikhlas, 1992), h. 272

[36] Imam Abi Abdullah bin Ismail bin Mughirah Bukhari Shahih Bukhari, (Beirut: Darul Fikr, 1414 H/1994 M), Juz ke- 13, h. 45

[37]M. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 151

[38]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 79

[39] Zainal Abidin, Kepribadian Muslim, (Semarang: Aneka Ilmu, 1989), h. 29

[40] Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 170

[41] Nur Uhbayati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 72

[42] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 1993), h. 44

[43] Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, (Yogyakarta: Andi Ofset, 1993), h. 40

Tidak ada komentar: